How to deal with desease

Diiringi deru mesin cuci, dan kerjaan bebenah rumah yang masih berstatus “pending”. Ditunggui oleh list agenda meng email, membuat materi, mengisi form, dan kerjaan kantor yang masih berstatus “queue” . Belum lagi urusan kampong, bikin undangan PKK yang masih setia menanti.

Just give me a break!

Sebab kalo aku menundanya aku khawatir moment ini hilang. Moment dimana aku ingin membuat perubahan dalam hidupku.

Aku ingatkan kawan, aku bukanlah orang penting. Maka yg kutulis ini mungkin tak menarik untukmu. So if u have many things to read, just skip it. Aku menulis ini lebih untuk diriku sendiri. Pure for my self..



Baru saja aku menjejali waktu tidak luangku dengan menonton oprah Winfrey Show. Thanks for media literasi, yang membuat aku menyadarkan diri untuk lebih memilih tayangan bermutu. Karena tayangan yg kutonton barusan betul-betul menginspirasiku. Membuat aku ingin membuka babak baru dalam hidupku. Mungkinkah ini bagian dari proses yang Tuhan siapkan untukku? Wallahu a’lam.


Tamu talkshow tadi tentang Motell – mohon maaf jika terdapat kesalahan penulisan nama atau gelar- yang menderita multiple sclerosis. Itu penyakit yang sungguh mengerikan. Tapi bukan masalah penyakitnya yang menarik, tapi adalah semangat hidup yang sungguh membangkitkan penderita penyakit tersebut. Ternyata penyembuh bukanlah obat. Apalagi vonis dokter yang memberi ramalan semena-mena. Satu kalimat bagus “aku memang memiliki multiple sclerosis tapi multiple sclerosis tidak akan memiliki aku”. Wuih keren banget. Kuncinya ternyata adalah bagaiman seseorang berdamai dengan penyakit itu. Istilahnya memeluk monster itu. Bukan menghindari, menghabiskan waktu untuk berpikir bagaimana mengalahkannya, apa obatnya. Well, obat itu adalah bagian dari konsekuensi karena di tubuh ada penyakit. Tapi itu hanyalah membuat kita tampak sedikit lebih baik. Penyembuh sebenarnya ada di pikiran kita. Kita tidak perlu malu, tidak perlu berpura-pura tidak ada masalah. Hal ini disampaikan Motell “Dulu aku takut tersandung, takut jalan terseret, malu dilihat orang karena tidak bisa menghentikan tangisku, tapi sekarang tidak. Biar saja itu terjadi, karena jika kau memang suka padaku, kau akan menyukaiku apa adanya, menerimaku secara keseluruhan” menurutku maknanya juga adalah, nggak usahlah buang energi untuk mempertimbangkan bagaimana respon orang yg hanya oke dengan kita setengah (oke sama sehat kita tapi ga oke dengan penyakit kita). Tak berbaloi. Jadi apa yang ditakutkan?


Aku lalu berkaca pada diriku. Selama ini ada pertanyaan dari orang sekitar yang paling ogah aku jawab. Yakni “gimana sudah isi belum?” capek deh.. lalu setelah aku jawab belum dia tanya lagi “udah cek dokter? Gak ada masalah kan?” (honestly, its not smart Question babe, jelaslah ada masalah. Kalo gak ya udah mblendung dari dulu!) kalo aku jawab enggak dia bilang lagi . “Cepet-cepet lho.. jangan ditunda-tunda” (again, its’not smart conversation). Lalu berceritalah dia tentang si A si B yang berusaha lalu berhasil. Atau anaknya yang baru nikah bulan lalu sekarang sudah hamil (ya ampyun…. Yang nikah hari ini hamilnya bulan lalu juga banyak). Nah endingnya biasanya sih rada enakan “ya aku doakan deh, semoga cepet ya…” aku pun menjawab takdzim “amiiin….” Lalu segera kabur dari pembicaraan.

Rasanya tidak nyaman, sungguh tidak nyaman. Dan ini hanya bisa dirasakan oleh orang yg punya pengalaman sama denganku. Buat yang tidak, bersyukurlah, dan tau dirilah.

6 th menjalani masa itu, lama-lama aku mulai mengembangkan mekanisme pertahanan diri. Macem2. Mulai dari mengalihkan pembicaraan, Menjawab cepat lalu kabur, menjawab sekenanya sampai orangnya jengah dan yang paling parah: pura-pura nggak denger. Ada satu sih mekanisme yang kayaknya manjur tapi nggak bisa aku praktekkin: pura-pura mendadak pingsan! He..he.. tapi jangan ah, terlalu gila.

Aku enggan membuka diri untuk masalah satu itu, males, capek, malu . nah yang terakhir itu yang terbesar.

Akibatnya aku menutup rapat-rapat bahwa aku harus menjalani laparoskopi untuk ”membereskan” masalah di rahimku. Berpesan wanti-wanti pada ibu agar tetangga jangan sampai tau. Memberikani info yang sangat terbatas pada keluarga dan teman. Bahkan untuk ke kantor aku juga Cuma bilang ada medical treatment yang harus dijalani. Alhamdulillah operasi itu berjalan lancar. Dokter menemukan polip dan penyumbatan di saluran sebelah kanan. Dengan laparoskopi dan hiteroskopi kedua msalah itu diatasi. Sekarang aku sedang masa pemulihan, dan lagi gila browsing untuk mencari informasi selengkapnnya agar langkah yang menelan biaya berjuta ini tidak sia-sia. Nanti kalau ada waktu lagi, barangkali info yang sudah kucari itu bisa kubagi. Supaya banyak yang bisa mendapat manfaat baginya.

Well, laparoskopi is not the point of my story...

Point nya adalah, apa yang kulakukan selama ini menunjukkan bahwa aku belum “deal with” penyakit, atau masalah kesehatan yang aku derita. Akhirnya aku menghabiskan banyak energi untuk menghindar, untuk lari, mengakhiri pembicaraan dengan jengah, membatasi sosialisasi, yang sebenarnya itu malah bikin rugi aku sendiri. Acara oprah tadi menginspirasiku untuk merubah pola. Harusnya aku terbuka aja, cuek aja, menceritakan apa adanya. Membiarkan orang lain mengambil hikmah dari sisi hidupku yang tak sempurnya. Kalau setelah itu mereka memberi wejangan atau informasi yang mungkin tidak begitu berguna, apa salahnya?

Aku tau ini pasti nggak mudah. Karena sampai detik ini pun aku masih merasa pertanyaan yang diajukan orang lebih sering pertanyaan retorik, basa- basi, yang kalau mau diulas, akan terasa konyol dan membuang waktu saja.

Tapi bukankah kita hidup di lingkungan yang berprinsip mending melontarkan pertanyaan konyol daripada diem-dieman berjam-jam. Bukankah Tuhan masih mengijinkan kita berada di tengah orang-orang yang mendedikasikan dirinya untuk mengurusi urusan orang lain daripada mengurusi diri sendiri. Tapi harus diakui, orang-orang seperti itu pulalah yang pertama mengulurkan tangan saat kita terluka. It’s a whole package my friend, terima saja.

So aku akan berusaha. Aku pengen lihat apakah disclosure adalah penyembuh besar dalam hidupku. Aku pengen lihat seberapa ringan aku bisa melakukannya. Aku mau lihat apa dampaknya..

Jogja, 3 januari 2009

golo

Comments

Popular Posts